Wednesday 21 December 2016

Laporan Praktikum Teknologi Emulsi





Teknologi Emulsi


I.                   Tujuan Percobaan

·      Mahasiswa dapat mengetahui teknologi emulsi pada berbagai jenis produk pangan
·      Mahasiswa dapat mempelajari mekanismme kerja emulsifier di dalam teknologi pangan


II.                Alat dan Bahan
a.       Alat
Ø Mixer
Ø Kompor
Ø Baskom
Ø Panci
Ø Pengaduk
Ø Thermometer
Ø Gelas ukur
Ø Timbangan
b.      Bahan
Ø Susu bubuk skim
Ø Susu kental manis
Ø Gula pasir
Ø Essence cokelat
Ø Gelatin (agar-agar)
Ø Telur
Ø CMC
Ø Aquadest



III.             Dasar Teori

Emulsi adalah suatu system yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam brntuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi.  Berdasarkan jenis fase kontinyu dan fase terdispersinya dikenal dua tipe emulsi yaitu emulsi tipe O/ W dan tipe
W/ O.
Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan campuran dua atau lebih bahan kimia yang tergolong ke dalam emulsifier dan stabilizer. Tujuan dari penambahan emulsifier adalah untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga memudahkan terbentuknya emulsi. Sedangkan tujuan penambahan stabiliser adalah untuk meningkatkan viscositas fase kontinyu agar supaya emulsi yang terbentuk menjadi lebih stabil.
            Emulsifier  dan stabiliser biasanya ditambahkan juga ke dalam emulsi alamiah yang tidak stabil seperti susu dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan emulsi dan meningkatkan kestabilannya.

Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak sebagai fase pembawa, sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besardan akhirnya menjadi suatu fase tunggal yang memisah (Anonim, 1995). Emulsi merupakan preparat farmasi yang terdiri 2 atau lebih zat cair yang sebetulnya tdk dapat bercampur (immicible) biasanya air dengan minyak lemak. Salah satu dari zat cair tersebut tersebar berbentuk butiran-butiran kecil kedalam zat cair yang lain distabilkan dengan zat pengemulsi (emulgator/emulsifiying/surfactan). Sedang menurut Farmakope Indonesia edisi ke III, emulsi merupakan sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfactan yang cocok.
Dalam batas emulsi, fase terdispers dianggap sebagai fase dalam dan medium dispersi sebagai fase luar atau kontinu. Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “m/a”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan dikenal sebagai emulsi ‘a/m”. Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu, suatu emulsi minyak dalam air diencerkan atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat dalam air. Umumnya untuk membuat suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian dari emulsi, yakni: zat pengemulsi (emulsifying egent). Tergantung pada konstituennya, viskositas emulsi dapat sangat bervariasi dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan atau semisolid (setengah padat) (Ansel, 1989).
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA, tragakan, gelatin, sapo dan lain-lain. Emulsa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu emulsi vera (emulsi alam) dan emulsi spuria (emulsi buatan). Emulsi vera dibuat dari biji atau buah, dimana terdapat disamping minyak lemak juga emulgator yang biasanya merupakan zat seperti putih telur (Anief, 2000).
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam airdibuat pada suhu tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak diperlukan perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang tinggi untuk menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim stearat atau krim pembersih adalah setengah padat dengan fase internal hanya hanya 15%. Sifat setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal setengah padat (Anonim, 1995).
Polimer hidrofilik alam, semisintetik dan sintetik dapat dugunakan bersama surfakatan pada emulsi minyak dalam air karena akan terakumulasi pada antar permukaan dan juga meningkatkan kekentalan fase air, sehingga mengurangi kecepatan pembenrukan agregat tetesan. Agregasi biasanya diikuti dengan pemisahan emulsi yang relatif cepat menjadi fase yang kaya akan butiran dan yang miskin akan tetesan. Secara normal kerapatan minyak lebih rendah daripada kerapatan air, sehingga jika tetesan minyak dan agregat tetesan meningkat, terbentuk krim. Makin besar agregasi, makin besar ukuran tetesan dan makin besar pula kecepatan pembentukan krim (Anonim, 1995).
Semua emulsi memerlukan bahan anti mikroba karena fase air mempermudah pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawetan sangat penting untuk emulsi minyak dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi. Karena jamur dan ragi lebih sering ditemukan daripada bakteri, lebih diperlukan yang bersifat fungistatik atau bakteriostatik. Bakteri ternyata dapat menguraikan bahn pengemulsi ionik dan nonionik, gliserin dan sejumlah bahan pengemulsi alam seperti tragakan dan gom (Anonim, 1995).
Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase kontinyu (zat cair yang berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal)); dan Emulgator (zat yang digunakan dalam kestabilan emulsi). Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi tipe w/o (emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar ke dalam minyak, air berfungsi sebagai fase internal & minyak sebagai fase eksternal) dan Emulsi tipe o/w (emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar ke dalam air) (Ansel, 1989).
Tujan pemakaian emulsi antara lain secara umum untuk mempersiapkan obat yang larut dalam air maupun minyak dalam satu campuran:

a.Emulsi dalam pemakaian dalam (peroral) umumnya tipe O/W
b.Emulsi untuk pemakaian luar dapat berbentuk O/W maupun W/O

2. Teori Lapisan Adsorpsi dan Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses pembentukan emulsi. Apabila tegangan permukaan antara kedua fase sama maka tidak akan terbentuk emulsi. Oleh karena itu perlu adanya penurunan tegangan permukaan pada salah satu fase.
            Pada proses pembentukan emulsi dibutuhkan emulsifier dan energy untuk memecah fase terdispersi menjadi butiran-butiran yang halus. Emulsifier tersebut akan diadsorpsi oleh medium disperse lebih besar dari pada zat yang terdispersi. Adsorpsi emulsifier ini akan menurunkan tegangan permukaan dari medium disperse lebih besar dari zat yang terdispersi, sehingga mengurangi kecenderungan medium disperse membentuk suatu lapisan yang terpisah, akibatnya akan terbentuk emulsi.
            Sistem kerja emulsifier berhubungan erat dengan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial). Selama emulsifikasi, emulsifier berfungsi menurunkan tegangan interfasial sehingga mempermudah pembentukan permukaan interfasial yang sangat luas (gambar 1). Bila tegangan interfasial turun sampai dibawah 10 dyne/cm maka emulsi dapt dibentuk, sedangkan bila tegangan interfasial mendekati nilai nol maka emulsi akan terbentuk dengan spontan.
Gambar 1. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air

            Pada suatu emulsifikasi, energy yang dibutuhkan untuk membentuk batas permukaan dua fase (interfasial) yang baru akan berkurang bila tegangan interfasialnya swemakin rendah. Hal ini telah dibuktikan oleh Powrie dan Tung (1976) dengan percobaan sebagai berikut. Untuk mendispersikan satu milliliter air dibutuhkan engergi kira-kira sebesar 247.800 erg. Tetapi bila ke dalam system emulsi minyak olive-air tersebut ditambahkan sejenis emulsifier untuk menurunkan tegangan interfasialnya dari 22.9 menjadi 3.0 dyne/cm (pada 20 oC) maka energy yang dibutuhkan untuk membentuk interfase yang baru hanya berjumlah 36.00 erg.

3. Teori Polar dan Non Polar
            Pada dasarnya emulsifier merupakan “surfactant” yang mempunyai dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Gugus hidrofilik bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah besenyawa dengan mi nyak. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya lebih dominan maka molekul-molekul emulsifier terseburt akan diadsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak.  Akibatnya tegangan permukaan  air dibandingkan dengan minyak, tegangan permukaan air lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya, bila gugus non polarnya yang lebih dominan maka molekul-molekul emulsifier tersebut akan diadsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan oleh air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebh rendah sehingga mudah menyebar menjadi fase kontinyu. Pada gambar 2 dapat dilihat diagram yang menunjukkan orientasi suatu emulsifier di dalam suatu emulsi minyak dalam air.
            Selain factor-faktor diatas perbandingan antara volume minyak dengan air menentukan tipe emulsi yang terjadi. Bila suatu sitem emulsi emngandung lebih dari 31-45 % air maka tipe emulsi yang terbentuk umumnya minyak dalam air. Sedangkan bial system tersebut mengandung air kurang dari 10-25 % air maka tipe emulsi yang terbentuk umumnya air dalam minyak. Bila diasumsikan bahwa butiran-butiran yang terdispersi dari suatu emulsi berbentuk bola berukuran seragam dana tidak ada yang pecah maka 74 % dari volume total dari suatu emulsi dapat menjadi fase terdispersi.
Gambar 2. Orientasi suatu emulsifier di dalam suatu emulsi minyak dalam air
            Pada proses pembuatan emulsi dibutuhkan jenis emulsifier yang cocok dengan tujuan memperoleh tipe emulsi yang diinginkan secara tepat dan ekonpmis. Mengingat saat ini terdapat banyak sekali jenis emulsifier maka diperlukan cara yang sistematis untuk menentukan emulsifier mana yang paling cocok untuk suatu jenis emulsi. Untuk menjawab masalah ini, Griffin mengembangkan suatu konsep yang diberi nama “ Hydrophilic-Lipophilic Balance”. Konsep ini ternyata telah digunakan dengan sukses dalam berbagain proses pembuatan emulsi.
            Hydrophilic-Lipophilic Balance yang disingkat dengan HLB menggambarkan rasio berat gugus hidrofilik dan lipofilik di dalam molekul emulsifier. Nilai HLB suatu emulsifier dapat ditentukan dengan salah satu diantara metode-metode berikut, yaitu:
·         Metode titrasi
·         Membandingkan stuktur kimia molekul
·         Mencari korelasi dengan nilai tegangan permukaan dan tegangan interfasial
·         Koefisien pengolesan
·         Daya larut zat warna
·         Konstanta dielektrika
·         Dengan teknik kromatograafi gas-cairan
Penentuan nilai HLB secara kasar dapat dilakukan dengan melihat dispersibilitasnya di dalam air dan membandingkannya dengan nilai-nilai pada table 1. Khusus untuk emulsifier non ioni, nilai HLBnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
1.      HLB =
Dimana:
E     : persentase berat gugus hidrofilik molekul

Contoh     :
Kandungan oksietilen di dalam polioksietilen stearat adalah 85 persen maka HLB = 
2.        HLB = 20
Dimana:
S     : bilangan yang saponifikasi ester dari emulsifier yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah alkali yang dibutuhkan (mg KOH) untuk mengsabunkan satu gram lemak
A    : bilangan asam dari emulsifier yang ditentukan dengan prosedur sebagai berikut: mula-mula asam lemak dipisahkan dari emulsifier dengan proses penyabunan yang menggunakan alkali berlebiha kemudian diasamkan dengan asam anorganik dan diekstraksi dengan heksan. Hasilnya dipisahkan dari heksan sehingga diperoleh asam lemak murni. Nilai bilangan asam emulsifier dapat dihitung dari jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan satu gram lemak.
Contoh:
Bilangan saponifikasi dari gliserol monostearat tipe komersil (mono dan digliserol) adalah 175 dan  bilangan asamnya adalah 200, maka nilai HLB= 20






Tabel 1. Dispersibilitas emulsifier di dalam air pada berbagai nilai HLB
Dispersibilitas
Kisaran nilai HLB
Tidak terdispersi

Sedikit terdispersi

Terdispersi seperti susu dengan pengadukan

Terdispersi seperti susu dengan kondisi yang stabil

Terdispersi menjadi larutan yang tembus cahaya hingga jernih

Terdispersi menjadi larutan jernih
1-4

3-6

6-8

8-10


10-13


13+
Sumber: becher (1965) di dalam Pwrie dan Tung 1976



Pada emulsifier yang mempunyai nilai HLB antara 3-6 akan membentuk tipe emulsi air dalam minyak, sedangkan emulsiofier yang mempunyai nilai HLB 8-18 akan membentuk tipe minyak dalam air. Namun untuk memperoleh suatu emulsi yang stabil biasanya dibutuhkan campuran dari dua atau lebih ewmulsifier yang merupakan kombinasi dari persenyawaan hidrofilik dan lipofilik.
            Bila kita menginginkan suatu campuran emulsifier , misalnya campuran A dan B dengan nilai HLB tertentu maka persentase berat tiap persenyawaan yang dibutuhkan untuk membentuk campuran tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:




Contoh:
Jumlah polioksietilen sorbitan oleat (HLB=15.0) dan sorbitan oleat (HLB=4.3) yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu vcampuran yang mempunyai nilai HLB=12 ssebagai berikut:
% Polioksietilen sorbitan oleat            =

% Sorbitan oleat                      = 100 – 72 = 28

4. Jenis-jenis Emulsi
4.1. Jenis-jenis Emulsi berdasarkan medium pendispersinya
Berdasarkan medium pendispersinya, emulsi dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu sebagai berikut:
1.        Emulsi Gas
Emulsi gas dapat disebut juga aerosol cair yang adalah emulsi dalam medium pendispersi gas. Pada aerosol cair, seperti; hairspray dan obat nyamuk dalam kemasan kaleng, untuk dapat membentuk system koloid atau menghasilkan semprot aerosol yang diperlukan, dibutuhkan bantuan bahan pendorong/ propelan aerosol, anatar lain; CFC (klorofuorokarbon atau Freon). Aerosol cair juga memiliki sifat-sifat seperti sol liofob; efek Tyndall, gerak Brown, dan kestabilan dengan muatan partikel.
Contoh: dalam hutan yang lebat, cahaya matahari akan disebarkan oleh partikel-partikel koloid dari sistem koloid kabut adalah merupakan contoh efek Tyndall pada aerosol cair.
2.        Emulsi Cair
Emulsi cair melibatkan dua zat cair yang tercampur, tetapi tidak dapat saling melarutkan, dapt juga disebut zat cair polar &zat cair non-polar. Biasanya salah satu zat cair ini adalah air (zat cair polar) dan zat lainnya; minyak (zat cair non-polar). Emulsi cair itu sendiri dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu; emulsi minyak dalam air (contoh: susu yang terdiri dari lemak yang terdispersi dalam air,jadi butiran minyak di dalam air), atau emulsi air dalam minyak (contoh: margarine yang terdiri dari air yang terdispersi dalam minyak, jadi butiran air dalam minyak).


3.        Emulsi Padat atau gel
Gel adalah emulsi dalam medium pendispersi zat padat, dapat juga dianggap sebagai hasil bentukkan dari penggumpalan sebagian sol cair. Partikel-partikel sol akan bergabung untuk membentuk suatu rantai panjang pada proses penggumpalan ini. Rantai tersebut akan saling bertaut sehingga membentuk suatu struktur padatan di mana medium pendispersi cair terperangkap dalam lubang-lubang struktur tersebut. Sehingga, terbentuklah suatu massa berpori yang semi-padat dengan struktur gel. Ada dua jenis gel, yaitu:

(i) Gel elastic
Karena ikatan partikel pada rantai adalah adalah gaya tarik-menarik yang relatif tidak kuat, sehingga gel ini bersifat elastis. Maksudnya adalah gel ini dapat berubah bentuk jika diberi gaya dan dapat kembali ke bentuk awal bila gaya tersebut ditiadakan. Gel elastis dapat dibuat dengan mendinginkan sol iofil yang cukup pekat. Contoh gel elastis adalah gelatin dan sabun.
(ii) Gel non-elastis
Karena ikatan pada rantai berupa ikatan kovalen yang cukup kuat, maka gel ini dapat bersifat non-elastis. Maksudnya adalah gel ini tidak memiliki sifat elastis, gel ini tidak akan berubah jika diberi suatu gaya. Salah satu contoh gel ini adalah gel silica yang dapat dibuat dengan reaksi kia; menambahkan HCl pekat ke dalam larutan natrium silikat, sehingga molekul-molekul asam silikat yang terbentuk akan terpolimerisasi dan membentuk gel silika.

4.2. Jenis-jenis Emulsi Berdasarkan Kestabilannya
1.        Emulsi temporer
Emulsi yang memerlukan pengocokan kuat sebelum digunakan dan biasanya memiliki viscositas rendah. Contoh: frech dressing yang terbuat dari minyak, cuka dan bumbu kering.
2.        Emulsi semipermanen
Emulsi yang mempunyai viscositas kental seperti krim. Contoh: salad dressing yang mengandung sirup, madu, dan condensed soup atau stabiliser komersil seperti gum dan pectin.
3.        Emulsi permanen
Emulsi yang mempunyai viscositas tinggi yang akan memperlambat penggumpalan fase terdispersi.
IV.             Prosedur Percobaan

1.    Mencampurkan 150 gram gula pasir, 115 gr susu krim ( 1 kaleng susu kental manis ), 2 gram agar-agar bubuk dan 1 gram karagenan, aduk hingga merata ingredient kering ini.
2.    Menghangatkan 635 ml air, bila suhu sudah 30oC tambahkan ingredient kering sedikit demi sedikit
3.    Memanaskan formulasi dengan cepat dan diaduk terus hingga mencapai suhu 69oC, pertahankan pada suhu ini sekurangnya selama 15 menit kemudian masukkan susu skim (Dapat divariasikan dengan susu kental manis cokelat) dan bubuk cokelat ke dalam gelas yang berisi air sambil diaduk , kemudian campurkan dengan formulasi yang dipanaskan tadi
4.    Menghomogenisasikan adonan selama 5 menit dengan ultra thorax
5.    Segera turunkan suhu adonan hingga 4oC gunakan campuran es batu + garam untuk keperluan ini
6.    Bagi adonan menjadi 2 bagian, satu bagian langsung dibekukan dalam votator dan bagian yang lain diaging satu malam dalam kulkan dengan suhu 4oC
7.    Menyimpan es krim yang telah beku dalam freezer -28oC (hardening) selama semalam. Lakukan hal yang sama pada bagian yang diaging
8.    Mengukur % over-run dan bandingkan kelembutan tekstur dari keduanya, makin lembut tekstur maka semakin sempurna emulsinya.

% over-run      = Berat 100ml formulasi – Berat 100ml es krim  x 100%
                                                Berat 100ml es krim


V.                Data Pengamatan

No
Perlakukan
Pengamatan
1
Mixer 2 butir kuning telur + 100 gr gula pasir
Mengembang, padat berwarna kuning gading
2
Panaskan susu cokelat dalam air 1500ml hingga suhu 80oC sambil diaduk
Berwarna cokelat , tekstur encer dan berbusa
3
Memasukkan adonan mixer ke dalam campuran susu cokelat ( lakukan pengadukan )
Menanaskan pada suhu 80oC semakin lama adonan semakin berat dan kental, busa menghilang
4
Masukkan agar-agar sebagai pengganti gelatin
Kental dan busa menghilang
5
Pendinginan dalam wadah batu es + garam
Suhu adonan turun dari 80oC menjadi 35oC
6
Tuangkan ke dalam cup es krim
Berat satu cup es krim = 60 gram
7
Dinginkan dalam freezer
Es krim mengeras dan tekstur kurang lembut (sedikit keras)


Perhitungan

Nama Bahan
Jumlah
Harga
Susu Kental Manis (cokelat)
1 kaleng
Rp. 9.000,-
Agar-agar powder
2 gram
Rp. 500,-
Telur
2 butir
Rp. 3.000,-
Gula Pasir
100 gram
Rp. 1.500,-
Cup es krim
30 buah
Rp. 7.500,-

Total
Rp. 21.500,-

Jumlah es krim yang diperoleh
30 buah
Harga jual 1 buah es krim
Rp. 1.500,-
Harga jual seluruh es krim
= Rp. 1.500,-  x  30 buah
Rp. 45.000,-
Modal 1 buah es krim
= Rp. 21.500,-  /  30 buah
= Rp. 71,-  =  Rp. 100,-
Keuntungan yang diperoleh
= harga jual – modal awal
= Rp. 45.000,-  –  Rp. 21.500,-
Rp. 23.500,-

Menghitung % over-run
            % over-run      = Berat 100ml formulasi – Berat 100ml es krim  x 100%
                                                            Berat 100ml es krim
                                    = 60 gram – 57 gram  x 100%
                                                57 gram
                                    = 5,3 %

VI.             Analisa Percobaan

Setelah melakukan praktikum tentang teknologi emulsi ini dapat dianalisa bahwa emulsi dapat terbentuk dalam penggabungan dua fase yaitu fase terdispersi dan fase kontinyu. Agar fase terdispersi dan fase kontinyu dapat bercampur sempurna dibutuhkan komponen ketiga yaitu emulsifier, komponen ini berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase tersebut (interfacial tension) sehingga keduanya mudah membentuk emulsi. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi , sedangkan cairan yang mengelilingi globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium disperse.
Untuk memperoleh suatu emulsi yang stabil, biasanya dibutuhkan campuran dua buah atau lebih emulsifier yang merupakan kombinasi dari persenyawaan hidrofilik dan lipofilik. Pada percobaan ini, kami mencoba mengemulsikan susu sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu dan emulsifier yang digunakan adalah telur. Emulsi jenis ini merupakan suatu emulsi yang memiliki nilai kestabilan emulsi temporer, yang membutuhkan pengocokan kuat sebelum digunakan.
Dalam praktikum teknologi emulsi untuk pembuatan es krim ini, emulsifier yang digunakan adalah kuning telur. Di dalam kuning telur terdapat senyawa organic yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik yang lebih banyak daripada bagian putih telur. Bagian hidrofobik akan berinteraksi dengan susu sedangkan bagian hidrofilik dengan air sehingga terbentuklah emulsi yang bisa menyatukan air dan susu pada bahan pembuatan es krim kali ini.


VII.          Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
ü  Emulsi merupakan suatu system yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, dimana satu cairan terdispersi dengan cairan lainnya (fase kontinyu)
ü  Emulsi jenis ini merupakan jenis emulsi temporer yang membutuhkan pengocokan kuat sebelum digunakan
ü  Emulsifier yang digunakan adalah kuning telur karena memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik yang masing-masing gugus akan berinteraksi dengan susu dan air sehingga membentuk emulsi yang stabil dalam pembuatan es krim

ü  % over-run yang diperoleh adalah sebesar 5,3 %

No comments:

Post a Comment

Aturan Berkomentar

Silahkan Berkomentar dan Beri Saran Jika Masih ada Kekurangan. 1. Dilarang Berkomentar yang Mengandung Unsur Sara dan Pornography 2. Dilarang Berkomentar Bila Anda Belum Membaca Postingan saya 3. Apabila Mengcopy Postingan ini Harap dilampirkan Sumber yang sebenarnya